Filosofi Panah

Kekasihku berzodiak sagitarius dan dia tak percaya ramalan.

“Kau tahu nggak kalau sagitarius itu lambangnya laki-laki yang sedang memanah? Itu artinya kalian yang berzodiak sagitarius akan selalu merencanakan sesuatu dengan matang seperti pemanah yang membidik sesuatu dengan seksama sebelum melepaskan anak panah dari busurnya .” Aku berkata suatu hari. Dia sedang berbaring di pangkuanku. Cahaya lampu  kamar menerangi hidung mancung, bibir tipis, dan rahangnya yang tegas. Wajahnya selalu membuat dadaku disesaki perasaan hangat dan kagum. Mata cokelatnya bertemu mataku. Aku bisa merasakan dia mendesah kesal.

“Aku tidak peduli, Sayang. Bagiku zodiak hanyalah alat yang dibuat manusia untuk  tidak melulu bergantung pada takdir. Membuat manusia tidak bertanya tentang kehidupan. Seolah-olah sifatku yang suka berpikir lama sebelum mengambil keputusan karena zodiakku padahal kau tahu sendiri riwayat hidupku bagaimana. Orang tua yang cerai, istri sialan yang meninggalkanku, sahabat yang membawa lari uang dan istriku.”  Dia mendesah lagi sebelum melanjutkan, “Kalau tak ada kau, aku akan mati.” matanya berkaca-kaca. Aku membungkuk dan mencium dahinya. Dia menggenggam tanganku.

“Istrimu gila karena telah meninggalkanmu. Aku takkan mungkin meninggalkanmu. Kau tahu itu.” Dia tidak membalas perkataanku, hanya menggenggam tanganku lebih erat. Kami terdiam untuk beberapa saat.

“Namun kau benar tentang sesuatu, ” katanya kemudian. Aku mengerutkan kening ke arahnya.

“Tentang apa?”

“Tentang sagitarius dan panah. Secara harafiah maksudku bukan secara kiasan seperti perkataanmu. Aku suka memanah, tetapi bukan karena zodiakku sagitarius. Saat berumur tujuh tahun ayahku mengajarkanku memanah dan aku menyukainya sampai sekarang.” Dia mengangkat jempol kanannya, ada bekas luka di buku jarinya. “Ini akibat gesekan terlalu sering dengan tali busur dan anak panah.” Aku tersenyum.

“Apa yang kau sukai dari memanah?”

“Memanah selalu membuatku puas apalagi kalau bisa membidik tepat di tengah papan panahan. Kau tahu filosofi memanah?” Kini dia bangkit dari tidurnya dan duduk berhadapan denganku.

“Huh, katanya kau tidak percaya zodiak.” Aku mencibir. Dia tertawa.

“Sayang, filosofi dan zodiak berbeda. Filosofi menceritakan arti sedangkan zodiak memburamkan arti.” Aku tertawa.

“Ceritakan padaku!” ujarku.

“Kau tahu sebelum seorang pemanah menarik busur dia harus mundur beberapa langkah. Semakin dia mundur semakin akurat tembakan anak panah mengenai saasaran. Begitu juga hidup,  kita harus mengambil langkah mundur untuk mengumpulkan energi agar apa yang kita rencanakan berhasil.” Dia tersenyum sumringah.

“Kau menerapkan filosofi memanah padaku?” Dia mengernyitkan kening.

“Kau selalu melangkah mundur ketika aku membicarakan pernikahan. Apakah itu pertanda kau ingin mengumpulkan waktu agar kita menikah di waktu yang tepat?” Wajah kekasihku berubah merah. Dia berdiri dan membelalakkan matanya.

“Kau! Siapa kau memintaku menikahimu?  Kau pikir aku mau menikah denganmu, hah?” suaranya melengking histeris.

“Aku pikir kau….”

“Diam perempuan brengsek.  Kalian semua sama saja. Merengek minta dinikahi kemudian saat bosan kabur dengan laki-laki lain.” Dia mencengkram kedua bahuku. “Kau ingin bernasip sama seperti istriku dan selingkuhannya? Kupanah mereka tepat di dada.” Dia menghempaskan tubuhku ke lantai.
“Perempuan bangsat!” Dia mulai menendang tubuhku bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka. Seorang pria berjas putih dan beberapa pria lain berseragam putih masuk.

“Pak Joko Anda tak apa?” Pria berjas putih mendekat. Kekasihku memandang mereka semua.

“Aku sedang memberi pelajaran pada perempuan sialan ini.” Dia menunjuk ke arahku. Para pria itu menatap ke arahku dengan bingung.

“Tidak ada siapa-siapa di sana,” ujar pria berjas putih. Kekasihku tak peduli dan terus menendangku dengan kasar.

“Suntikan dia obat penenang!” perintah laki-laki berjas putih sebelum aku jatuh pingsan.  Besok aku akan kembali sadar dan menemui kekasihku lagi. Aku mencintainya dan akan terus memintanya menikahiku.

Tamat…

Tulisan ini dalam rangka mengikuti giveaway Kaliluna : Luka di Salamanca

Leave a comment